Sebelum terbukanya mata dunia, aku terbangun dan langsung berjalan menuju kamar mandiku mengambil wudlu sambil menyadarkan diri sedikit demi sedikit kemudian menjalankan sholat.
Walaupun aku tak mampu meneteskan air mata, itu tak mengurangi kekhusukan do’aku. Dalam hati ku berkata, “Ya Allah, di saat yang Engkau muliakan dan sucikan ini, aku kembali memohon padamu. Mudahkanlah jalan hidupku, ampunilah dosaku dan lancarkanlah rizki keluargaku. Semoga hamba dapat menjadi seorang yang berguna”.
“Lid, udah bangun belum?” kata suara dari arah dapur. Kemudian terdengar kembali di depan pintu kamarku. Ketika pintu kamarku kubuka, kulihat sosok ibu berusia kira-kira 35 tahun berdiri tegak dengan rambutnya yang panjang. Orang itu berkata, “Beliin ikan asin buat sarapan, ya!”
“Bentar”, jawabku dengan sopan.
Dengan langkah tegap dan kesadaran yang baru pulih kembali, aku berangkat menuju ke penjual sayuran yang sudah biasa menjadi langgananku. Tak satupun suara yang ku dengar dalam penyalaman selain suara kendaraan yang melintas di jalan raya. Setelah beberapa saat aku membeli ikan asin, aku pulang dengan menenteng tas plastik berwarna hitam dengan berisikan ikan asin dan cabai. Kemudian bertanya pada ibuku yang terlihat memasak di dapur. “Bu, jam berapa sekarang?”, beberapa saat aku menunggu namun tak ada jawaban yang kudengar. Mungkin ibu tak mendengar apa yang ku tanyakan, jadi aku menoleh ke jam dinding yang ditempatkan pada sebuah paku di puang tamu. Jam itu masih menunjuk pukul 05.00.
Setelah beberapa menit menonton tv 14 inchiku, aku mengambil nasi yang masih baru matang. Saat itu aku makan dengan lahapnya hingga sambal yang tadinya untuk adik-adikku, aku habiskan. Maklum saja, sambal merupakan makanan favoritku.
“Bu, aku mandi dulu”, aku berkata sambil berjalan menenteng handuk menuju kamar mandi. Beberapa saat aku membersihkan tubuh kemudian keluar dan menuju ke kamarku.
Begitu keluar dari kamar, aku terlihat begitu rapi dengan pakaian seragam muslim Jum’at, warna hijau muda sebagai kemeja, dan hijau tua sebagai celana. Terlihat juga sepatu yang sudah mulai jebol, namun tak terlihat jelas karena kaos kakiku berwarna hitam.
Kupandang jam dinding bulat yang menempel dengan erat pada dinding yang jarum-jarumnya menunjuk angka enam. Aku mencari ibuku untuk memberi salam. Ketika melewati kamar ibuku, kulihat dua adikku yang masih berusia masing-masing 1 dan 3 tahun masih terlelap, sedangkan adikku yang satu lagi sedang berganti pakaian seragam batik SDnya.
Aku berangkat dengan menarik nafas dalam, dengan berdo’a pada Tuhanku, setelah sebelumnya menyalami ibuku. Aku berangkat dengan penuh keyakinan menuju gudang ilmu, dank u berharap bertemu cahaya hatiku. Seorang gadis berkerudung dengan hati seputih salju.
Sesampai di sekolah, kulihat banyak teman-temanku yang membaca buku. Ya, memanglah hari ini adalah hari kelima ujian semester.
“Lid, gimana belajar ga tadi malam?”, kata anak laki-laki dengan potongan rambut pendek yang duduk diantara 4 cewek. Anak itu tadi adalah Andy, murid terpintar dikelasku, sekaligus sahabat karibku. Sedangkan 4 cewek tadi adalah Neno, Irma, Deas, dan satu lagi cewek yang berarti dalam hidupku. Cewek yang berhati salju dengan kerudung yang menutupi mahkotanya. Seorang gadis dengan nama Nurul Hidayati.
Di dalam kelas ku coba berkonsentrasi mengerjakan soal-soalku. Namun pandanganku teralih pada salah seorang temanku yang tengah membuka buku contekannya. Dalam hati aku terfikir untuk melaporkan hal itu pada pengawas karena heran. Padahal hari ini hari kelima ujian semester dan mata pelajaran yang diujikan adalah TIK yang bisa dikatakan sebagai mata pelajaran yang mudah. Namun masih ada saja yang mengeluarkan contekan. Hari itu aku tak melaporkan hal itu.
Pada saat 20 menit menjelang berakhirnya waktu ujian, aku tanpa sengaja memandang wajah gadis pujaanku yang kebetulan berada satu ruang denganku dan kemudian terbawa dalam khayalan.
Aku pulan dalam keadaan termanggu, pikirku masih terpaku akan khayalan semu. Tanpa terasa aku sampai di depan rumah. Ku ucap salam sambil melangkah ke dalam rumah menuju kekamarku. Aku termenung di depan cermin yang terpampang di dinding kamarku sambil berkata dalam hati, “Apakah aku mampu dan juga pantas untuk menjemput cintanya?”.
Kemudian aku tersadar akan kewajiban yang belum aku laksanakan. Aku bergegas mengambil wudlu dan melaksanakan sholat dhuhur. Aku agak tergesa-gesa karena waktu menunjuk pukul 01.54 berarti sebentar lagi waktu sholat dhuhur akan berakhir. Ibuku tersenyum melihat keanehan yang beberapa hari dirasakan ini. Maklumlah dulu aku adalah anak yang boleh dikatakan “mbrudal” atau susah diatur yang selalu lupa pada penciptanya dan alamnya. Namun kini perubahan ini begitu mencolok. Setiap hari aku menjalankan sholat 5 waktu, bahkan jika aku terbangun pada malam hari, aku tak lupa menjalankan sholat tahajjud.
Saat selesai sholat maghrib sekitar pukul 6, aku membuka lembaran ilmuku. Seberanya, aku berat untuk meninggalkan kebiasaan menonton kartun anak-anak. Namun karena besok hari terakhir ujian, berarti sebentar lagi aku akan bebas menonton tv. Jadi sekarang aku rela belajar dengan giat.
Setelah selesai belajar, aku berdiri dan menjulurkan tanganku untuk menjangkau saklar kamarku. Kumatikan lampu kamarku sehingga hanya gelap yang tersisa. Kemudian kunyalakan lilin putih yang ku sediakan khusus untuk menulis puisi, kemudian bergegas mengambil buku berwarna merah muda dengan merk “Sinar Dunia” yang tujuh lembar pertamanya berisikan puisi-puisi karyaku. Ku buka lembaran itu hingga bertemu dengan halaman yang belum terisi hanya dengan garis biru tua yang tembus pandang.
Bersinarkan cahaya lilin kutuliskan puisi bagi pujaku, mengungkap rasa dijiwaku, melepas gundah amarah yang mengulati hati, menumpah semua pikiran keluh kesah akan kehidupanku. Hanya hal ini yang dapat membahagiakanku.
Pena itu masih tergenggam namun mata telah terpejam terlelap disamping buku sajak itu yang baru kemarin aku beri nama “Puisi-Puisi Untuk Cinta dan Kebimbangan”, buku ini sekaligus menjadi buku puisi pertamaku. Ya, saat ini aku tak mampu menulis puisi-puisiku di komputer, karena masih belum banyak terkumpul. Lagi pula, aku tak punya komputer. Maklum saja aku termasuk anak yang dilahirkan dari keluarga menengah kebawah. Bahkan kadang-kadang aku selalu menyisihkan uang jajanku untuk membantu ibu belanja. Karena di sekolah, aku memang tak pernah jajan. Jadi uangku hanya untuk membayar angkot. Tapi aku sengaja tidak jajan, karena uangku memang tak cukup untuk jajan.
Ku lihat bibir mungil itu tersenyum, bibir gadis yang ku cinta. Aku agak heran karena beberapa hari ini hubunganku dengan dia agak kurang baik. Karena beberapa minggu yang lalu, ia membaca puisi yang baru selesai diketik oleh sahabatku Heru yang tadinya akan segera diberikan padaku. Namun direbut oleh anak-anak cewek dikelasku. Kemudian dilihat ramai-ramai. Ya memang Nurul tak ikut melihat puisiku, namun kuakui setelah itu sikapnya berubah mungkin karena risih akan godaan dari teman-temanku. Namun aku bahagia melihatnya tersenyum saat ini, karena senyum manis itu menghujani gersang hatiku.
“Kriiing…….” tiba-tiba terdengar bunyi alarm dari HPku yang ku set pada pukul 03.30 pagi, karena aku ingin belajar. Kata orang-orang kalau ingin belajar dan mengingat semua pelajaran paling tepat jam segini ini. Kemudian aku teringat bahwa aku melihat Nurul tersenyum padaku, ternyata itu hanya mimpi. “Astaghfirullah”, ungkapku dalam hati karena dalam mimpipun aku masih memimpikannya. Kemudian teringat akan kata